Selasa, 01 Desember 2015

Pada acara praktikum minggu lalu yaitu acara 4 kami diminta untuk membuat alat peraga yang di gunakan dalam melakukan kegiatan penyuluhan. Ada beberapa alat peraga yang digunakan seperti folder, leaflet, dan poster. pada pembuatan alat peraga ini kami adari kel 2 mendapatkan pilihan membuat alat peraga berupa poster. Berikut ini adalah folder yang telah kami buat:

                            Gambar 1. folder Mekanisme Pembuatan Pupuk Organik (kompos)

Folder ini berisi teknis pembuatan pupuk organik (kompos) dari seresah tanaman salak. Folder merupakan selembar kertas yang dilipat menjadi 3, berisikan tulisan daripada gambar serta ditujukan pada sasaran untuk mempengaruhi pengetahuan dan keterampilan pada tahap minat, menilai dan mencoba. Kelebihan folder adalah alat peraga yang dapat digunakan untuk melakukan penyuluhan pertanian dengan isi atau materi yang lebih lengkap dibandingkan dengan alat peraga yang lain, kelebihan lain dari folder adalah lebih efektif dan efisien, dapat menarik perhatian, sasaran bersifat lebih besar bahkan menjadi bersifat massal dan biaya relative rendah. Sedangkan kekurangan dari folder itu sendiri adalah kurang tepat bila digunakan pada masyarakat yang memiliki kemampuan baca rendah atau buta huruf, kurang cepat mencapai sasaran, apabila dipakai sebagai satu-satunnya teknik untuk menyampai pesan di daerah pedesaan dan apabila tidak disiapkan secara seksama dan hati-hati justru akan kehilangan arti maksud dan tujuannya.

Minggu, 08 November 2015

Balitbangtan Kenalkan AWD untuk 
Mengontrol Ketersediaan Air Sawah

(Dian Aulia 14/364403/PN/13607)

Ditulis oleh : Dedi Junaedi, diposting pada: 03-08-2015

JAKARTA – Untuk merespon pengelolaan sumber daya air di lahan sawah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara memperkenalkan alat deteksi dalam mengontrol batas kritis ketersediaan air pada lahan sawah. Namanya, AWD Modifikasi.

Menurut Ka Balitbangtan Muhammad Syakir, alat ini menjadi elemen penting dalam strategi pengelolaan air pada lahan sawah khususnya dalam pengairan basah kering (alternate wetting and drying/AWD) dan merupakan modifikasi dari alat AWD yang awalnya hanya berupa pipa paralon. 

Modifikasi terbaru dari AWD ini yakni dilengkapi pelampung dalam mengontrol ketinggian air dalam tabung pipa paralon. Prinsipnya adalah setelah lahan sawah diairi, maka kedalaman air akan menurun secara gradual, karena diserap tanah dan tanaman atau melalui evapotranspirasi.

Apabila penurunan kedalaman air sudah mencapai 15 cm di bawah permukaan tanah atau bahkan lebih dari itu, maka lahan sawah harus kembali diairi. Oleh karena itu pada tiang dilengkapi lampu led yang dihubungkan baterai charger yang bersumber dari radiasi matahari melalui penggunaan panel solar cell. 

Bila penurunan kedalaman air telah mencapai batas kritis (melewati batas aman), maka sensor akan segera memberikan isyarat berupa nyala lampu led, yang berarti saatnya dilakukan pemberian air. 

Adanya sensor cahaya lampu akan membantu petani sehingga tidak perlu masuk ke petakan sawah untuk mengamati kondisi air di dalam pipa AWD, utamanya saat pemberian air pada malam hari.  Dengan cahaya lampu, maka petani ataupun petugas pengatur air dapat mengetahui saat yang tepat untuk pemberian air di lahan sawah. 

Alat AWD modifikasi telah diuji coba pada lahan sawah di Kebun Percobaan Wawotobi dan di lahan petani di Kecamatan Meluhu, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Respon pengguna khususnya petani dan penyuluh pertanian sangat positif dan mengharapkan sesegera mungkin bisa mendapatkan alat tersebut. 

Respon yang sama juga dikemukakan oleh para petani dan kelompok tani di wilayah Rarowatu Utara, yang pada musim tanam April-September (ASEP) menggunakan mesin pompa air dengan bahan bakar gas.

Dikutip dari: http://www.technology-indonesia.com/pertanian-dan-pangan/pertanian/835-dedi-junaedi 

Penyakit Pasca Panen pada Jagung

Reni Safitri(14/365080/PN/13657)

1 November 2015, Sri Wijiastuti, Penyuluh Pertanian Pusluhtan, BPPSDMP


Busuk tongkol fusarium
Penyakit busuk tongkol fusarium atau sering disebut dengan busuk tongkol merah, merupakan penyakit umum pada tanaman jagung di seluruh dunia. Jamur-jamur ini dapat terbawa oleh biji dan mengadakan infeksi lewat biji dan tanah sehingga menyebabkan penyakit semai. Jamur ini juga menyerang batang dan menyebabkan busuk pangkal batang. Di dalam tanah, penyakit ini tumbuh dan menyebar secara saprofit pada jaringan tanaman jagung yang telah mati. Pencegahan penyakit ini dilakukan dengan menggunakan organomerquri dan non merquri seperti Arasan dan Dithane. Jenis lain dari fusarium adalah F. Graminearum. Jenis ini juga menyerang kecambah yang menyebabkan busuk tangkai, dan juga pada cuaca basah dapat menyerang biji menjadi busuk. Patogen ini merupakan pathogen yang lewat biji dan merupakan juga pathogen tanah. Di tanah bertahan pada sisa-sisa tanaman. Perlakuan biji dilakukan dengan Thiram 500 g/100 kg biji.

Gejala busuk tongkol Fusarium bervariasi tergantung berta ringannya penyakit, varietas, dan jenis patogennya. Penyakit ini menyebabkan biji busuk sampai pada pangkal tongkol, warna bervariasi dari merah jambu, sampai coklat kemerahan atau coklat kelabu, tergantung pada banyak sedikitnya jamur dan cuaca. Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan pemeliharaan tanaman sebaik-baiknya, antara lain dengan pemupukan yang seimbang, tidak membiarkan tongkol terlalu lama mongering di ladang, penanaman varietas tahan, pergiliran tanaman, dan perlakuan benih.

2. Busuk tongkol diplodia
Patogen ini terdapat di tempat-tempat yang beriklim dingin. Pathogen ini menyebabkan seedling blight, busuk tangkai dan busuk biji. Infeksinya melalui biji dan tanah. Perlakuan biji akan efektif dengan pemberian bahan kimia organomerquri dan non merquri yaitu Arasan dan Dithane.

Busuk tongkol diplodia ini banyak tersebar di Jawa, bahkan sudah menyebar ke seluruh Indonesia. Penyakit ini membentuk kompleks busuk tongkol, yang juga dapat menyebabkan busuk batang dan penyakit semai. Penyakit ini pada umumnya kurang merugikan, meskipun cenderung lebih merugikan di daerah beriklim sedang dan di pegunungan daerah tropik.

Gejala yang muncul pada tanaman jagung yang terkena penyakit busuk tongkol diplodia adalah terjadi infeksi pada beberapa biji secara tidak tampak sampai ke membusuknya seluruh tongkol dan kelobot. Diantara bibji - biji terdapat miselium jamur yang berwarna putih sampai coklat kelabu. Biasanya pembusukan berkembang dari pangkal ke ujung tongkol.

Penyebab penyakit ini adalah jamur Diplodia mydis (Berk.) Sacc. Jamur ini membentuk piknidium dalam jaringan, bulat atau agak bulat, coklat tua atau hitam, garis tengah 150-300 nm, dinding bersel banyak, berwarna gelap di sekeliling ostiol yang bulat dan menonjol, yang mempunyai garis tengah 40 nm. Patogen mempertahankan diri dalam biji dan hidup sebagai saprofit pada sisa-sisa tanaman sakit. Pada waktu tanaman lembab, konodium keluar dari piknidium seperti benang-benang hitam dan seterusnya konidium dapat dipencarkan oleh percikan air, atau setelah mengering oleh angin. Pengendalian dapat dilakukan dengan penanaman benih yang sehat, penanaman varietas yang tahan , dan perlakuan benih (seed dressing).

3. Busuk penicillium
Penyakit busuk penicillum ini disebabkan oleh jamur Penicillium spp. Penyakit ini disebarkan lewat biji . Gejala yang tampak yaitu adanya spora jamur mirip tepung yang berwarna biru sampai hijau atau hijau tua yang melekat umumnya pada pangkal tongkol dan apabila dalam keadaan yang menguntungkan dapat menyelimuti seluruh bagian tongkol jagung.

Faktor perlakuan pada benih, dan keadaan lingkungan seperti kelembaban dan suhu sangat mempengaruhi perkembangan jamur ini. Penyakit ini dapat dikendalikan dengan menitikberatkan pada perrlakuan benih atau penyimpanan seperti sanitasi , aerasi gudang serta pemberian fumigasi sistemik.

4. Busuk tongkol Aspergilllus
Gejala yang tampak pada tongkol yang terkena busuk tongkol aspergillus yaitu tongkol berwarna kehijauan, kuning sampai hitam. Kerusakan pada umumnya terjadi pada bagian ujung tongkol yang sangat dipengaruhi oleh kelembaban dan suhu di dalam penyimpanan atau gudang. Jamur penyebab penyakit ini adalah dari jenis Aspergillus flafus dan A. Parasitcus yang dapat memproduksi alfatoksin yang bersifat racun pada hewan dan manusia. Alfatoksin tersebut terbentuk baik pada suhu 80 F(27o) C. Tongkol atau benih yang terinfeksi janmur ini sesegera mungkin dimusnahkan atau diberi perlakukan khusus yang dapat membatasi penyebaran penyakit ini melalui biiji. Upaya preventif yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemilihan benih yang sehat, perlakuan pada tempat penyimpanan (gudang) dan pemberian fungisida sistemik.

Gosong bengkak.
Jagung yang terkena penyakit gosong bengkak akan memperlihatkan gejala seperti bibji-biji yang terinfeksi akan membengkak,dan membentuk kelenjar. Semula gall berwarna putih, selanjutnya akan berwarna hitam setelah jamur berkembang dan membentuk spora. Kelenjar dapat membesar dan menyebabkan kelobot terdesak ke samping sehingga, sebagian kelenjar terlihat dari luar.

Penyakit gosong bengkak ini disebabkan oleh jamur Uslilago maydis atau U, zeae. Jamur ini dapat bertahan secara saprofit dalam bentuk klamidospora pada sisa tanaman, pupuk organis dan dalam tanah. Klamidospora ini dapat bertahan hidup cukup lama hingga bertahun-tahun.

Faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan pathogen adalah tanah yang subur dan lembab, penanaman padi yang rapat dan unsur hara. Usaha yang dilakukan untuk pengendalian penyakit ini adalah dengan membenamkan atau membakar tanaman yang sakit.

Dikutip dari: http://cybex.pertanian.go.id/materipenyuluhan/detail/10357/penyakit-pasca-panen-pada-jagung

MENDONGKRAK PRODUKTIVITAS KEDELAI MELALUI PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT)

 (Nafila Alifia Azka 13624)

September 15, 2015 Inang Sariati


Kacang kedelai sudah merupakan salah satu bahan pangan yang sangat penting bagi masyarakat kita. Disamping memiliki banyak kandungan nutrisi serta sangat baik bagi tubuh, kacang kedelai juga dapat diolah menjadi berbagai aneka kuliner. Sebut saja misalnya tahu, tempe dan susu kedelai. Selain itu, ampasnya juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran pakan ternak. Di beberapa negara, kedelai juga dijadikan sebagai salah satu bahan makanan favorit yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduknya. Hal ini sangat berpengaruh pada tingkat kesehatan dan kecerdasan penduduk di negeri tersebut yang relatif lebih baik. Oleh karena itu, sudah seharusnya lah masyarakat kita disosialisasikan tentang manfaat dan kelebihan gizi dari kacang kedelai ini. Selain itu tentunya, petani kedele kita juga harus dicarikan solusi dan inovasi agar produksinya meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu caranya adalah melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) kedelai.

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) kedelai adalah suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. PTT kedelai merupakan sebuah pendekatan inovatif dalam upaya untuk meningkatkan: 1) Produktifitas dan 2) Efisiensi usahatani kedelai melalui penerapan teknologi kedelai yang memiliki efek sinergis saling mendukung, dilakukan secara partisipatif dan bersifat spesifik lokasi.

PTT bukanlah paket teknologi produksi kedelai, melainkan suatu pendekatan dalam produksi kedelai agar teknologi dan/atau proses produksi yang diterapkan sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Kondisi tersebut meliputi: 1. Kondisi bio fisik (iklim, air, tanah, organisme pengganngu tanaman; 2) Keadaan sosial ekonomi masyarakat (kemampuan dan keinginan petani) dan status kelembagaan yang terkait dengan pembanguan pertanian.

Adapun PTT padi di lahan pasang surut yaitu : 1).Penggunaan varietas unggul adaptif, 2). Pemupukan spesifik lokasi, 3). Amelioran (digunakan abu dan/atau kapur untuk meningkatkan pH), 4). Pengendalian terpadu untuk hama, penyakit dan gulma dan 5). Menggunakan alsin untuk pra dan pasca panen. Pengolahan tanah sempurna dimaksudkan untuk pencucian racun dan meratakan tanah.

a. Peran Komponen PTT, Penggunaan benih varietas unggul bermutu akan menghasilkan daya perkecambahan yang tinggi dan seragam, tanaman yang sehat dengan perakaran yang baik, tanaman tumbuh lebih cepat, tahan terhadap hama dan penyakit, berpotensi hasil tinggi dan mutu hasil yang lebih baik.

Penanaman yang tepat waktu, serentak dan jumlah populasi yang optimal dapat menghindari serangan hama dan penyakit, menekan pertumbuhan gulma, terhindar dari kelebihan dan kekurangan air, memberikan pertumbuhan tanaman yang sehat dan seragam serta hasil yang tinggi.

Pemberian pupuk secara berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara tanah dengan prinsip tepat jumlah, jenis, cara, dan waktu aplikasi sesuai dengan jenis tanaman akan memberikan pertumbuhan yang baik dan meningkatkan kemampuan tanaman mencapai hasil tinggi.

Pemberian air pada tanaman secara efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan tanaman dan kondisi tanah merupakan faktor penting bagi pertumbuhan dan hasil tanaman yaitu air sebagai pelarut sekaligus pengangkut hara dari tanah ke bagian tanaman. Kebutuhan akan air disetiap stadia tanaman berbeda-beda, pemberian air secara tepat akan meningkatkan hasil dan menekan terjadinya stres pada tanaman yang diakibatkan karena kekurangan dan kelebihan air.

Perlindungan tanaman dilaksanakan untuk mengantisipasi dan mengendalikan serangan OPT dan DPI dengan meminimalkan kerusakan atau penurunan produksi akibat serangan OPT. Pengendalian dilakukan berdasarkan prinsip dan strategi Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Khususnya pengendalian dengan pestisida merupakan pilihan terakhir bila serangan OPT berada diatas ambang ekonomi. Penggunaan pestisida harus memperhatikan jenis, jumlah dan cara penggunaannya sesuai dengan ketentuan dan peraturan yang berlaku sehingga tidak menimbulkan resurjensi atau resistensi OPT atau dampak lain yang merugikan lingkungan.

Penanganan panen dan pasca panen akan memberikan hasil yang optimal jika panen dilakukan pada waktu dan cara yang tepat yaitu tanaman dipanen pada masak fisiologis berdasarkan umur tanaman, kadar air dan penampakan visual hasil sesuai dengan diskripsi varietas. Pemanenan dilakukan dengan sistem kelompok yang dilengkapi dengan peralatan dan mesin yang cocok sehingga menekan kehilangan hasil. Hasil panen dikemas dalam wadah dan disimpan ditempat penyimpanan yang aman dari OPT dan perusak hasil lainnya sehingga mutu hasil tetap terjaga dan tidak tercecer.

b. Pemilihan Teknologi PTT, Komponen teknologi yang dipilih dan diterapkan oleh petani dalam melaksanakan GP-PTT adalah komponen teknologi PTT. Perakitan komponen teknologi budidaya dilakukan dengan cara penelusuran setiap alternatif komponen teknologi, jumlah yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi. Apabila hal tersebut telah diketahui maka antar komponen teknologi dan aspek lingkungan dapat disinergiskan. Pemilihan teknologi budidaya yang optimal dapat dilakukan dengan memaksimalkan komponen teknologi yang saling sinergis dan meminimalkan komponen teknologi yang saling antagonis (berlawanan) sehingga diperoleh teknik budidaya dalam pendekatan PTT yang spesifik lokasi.

Kombinasi komponen teknologi yang digunakan pada lokasi tertentu dapat berbeda dengan lokasi lainnya, karena beragamnya kondisi lingkungan pertanaman. Setiap teknologi dan kombinasi teknologi yang sedang dikembangkan pada suatu lokasi dapat berubah sejalan dengan perkembangan ilmu dan pengalaman petani di lokasi setempat. Untuk menetapkan paket teknologi GP-PTT yang akan dilaksanakan.di setiap unit agar Dinas Pertanian Kabupaten/Kota berkomunikasi dan atau berkonsultasi dengan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di masing–masing wilayah.

Dikutip dari:http://cybex.pertanian.go.id/materipenyuluhan/detail/10337/mendongkrak-produktivitas-kedelai-melalui-pengelolaan-tanaman-terpadu-ptt

Sabtu, 07 November 2015

Berikut Hasil Kajian UGM 
Soal Pemicu Kebakaran Hutan dan Lahan 
(Kadek Arip Kurniawan/13632)
November 3, 2015 Tommy Apriando, Yogyakarta
Kajian UGM menyebutkan, membuka lahan dengan membakar dan pembukaan kanal-kanal menjadi pemicu kebakaran hutan dan lahan. Foto: Sapariah Saturi


Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan menjadi keprihatinan berbagai pihak, terlebih, masalah berulang setiap tahun. Universitas Gadjah Mada pun melakukan kajian soal ini. “Sangatlah ironi apabila kita tidak sanggup mengakhiri rutinitas bencana ini,” kata Rektor UGM Dwikorita Karnawati, di Yogyakarta, baru-baru ini.

Dia mengatakan, ada dua faktor pemicu kebakaran, yakni alam dan manusia. Namun, katanya, faktor manusia lebih kuat menyebabkan kebakaran itu.

Dari kajian UGM, katanya, memperlihatkan, membuka lahan dengan membakar maupun kanal buatan untuk mendrainase atau mengeringkan lahan gambut menjadi pemicu kebakaran. Tim UGM, telah mengkaji dan memperlihatkan sebaran titik api sesuai kanal-kanal buatan.

“Kanal inilah yang memicu, makin luas terbuka lahan jaringan kanal ini, makin bertambah pula titik api.”

Parahnya, tak mudah memadamkan api kala lahan gambut sudah terbakar. Api yang membakar lahan, katanya, terlebih gambut dalam, sangat sulit dipadamkan dan memerlukan volume air banyak. Guna memadamkan api seluas satu meter pesegi ketebalan 30 centimeter saja perlu 200-400 liter air.

“Dengan air sebanyak itu bisa dibayangkan berapa volume air dibutuhkan untuk memadamkan 1,7 juta hektar hutan yang terbakar.”

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan luas wilayah kebakaran hutan mencapai 2,1 juta hektar. Kerugian ekonomi cukup besar. Di Riau saja menyatakan kerugian sampai Rp20 triliun, belum wilayah lain. Belum lagi warga terdampak mencapai 43 juta orang.

Untuk itu, katanya, UGM merekomendasikan beberapa hal penting kepada pemerintah, seperti perlu tindakan pemadaman segera dan penanganan dampak serta evakuasi korban. Juga tindakan penegakan hukum dan disinsentif ekonomi bagi pelaku dan perusahaan terbukti membakar lahan dengan dibakar. Lalu memberikan sanksi administrasi seperti pencabutan izin dan pembebanan pemulihan lingkungan kepada perusahaan, selain gugatan perdata dan pidana.

Sedangkan tindakan pencegahan agar kebakaran tidak terulang, katanya, pemerintah sebaiknya menata kembali tata ruang lahan gambut dan audit performance kanal. “Lakukan audit kinerja dan audit kepatuhan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pemanfaatan lahan gambut,” kata Dwikora.

Dekan Fakultas Kehutanan UGM, juga pakar gambut Satyawan Pudyatmoko, menyampaikan, kebakaran lahan gambut dampak kesalahan fundamental pengelolaan lahan. Paradigma pembangunan Indonesia selama ini, katanya, cenderung mengarah optimalisasi nilai-nilai ekonomis lahan gambut dengan mengabaikan prinsip kelestarian eksositem.

“Tindakan responsif tidak cukup lagi mengatasi persoalan ini. Harus ada perubahan mendasar terkait paradigma pengelolaan lahan gambut non-drainase.”

Sosiolog UGM, Arie Sudjito menambahkan, upaya pemadaman kebakaran lahan gambut penting tetapi gerakan kemanusiaan membantu korban asap harus menjadi perhatian seluruh komponen bangsa.“Kebakaran ini tidak hanya merusak alam, juga menimbulkan korban. Peru gerakan kemanusiaan menyelamatkan korban.”


Dikutip dari: http://www.mongabay.co.id/2015/11/03/berikut-hasil-kajian-ugm-soal-pemicu-kebakaran-hutan-dan-lahan/